Aktivis Asli Tapi Palsu



"Apakah selamanya politik itu kejam, apakah selamanya
ia datang untuk menghantam atau memang itu yang
sudah digariskan, menjillat, menghasut, menindas
memperkosa hak-hak sewajarnya"
( Iwan Fals)

Kata aktivis sangat popular dikalangan mahasiswa
pasca reformasi. Dan karenanya, bargaining position
aktivis menjadi tinggi saat mereka bersatu menumbangkan
rezim orde baru di tahun 1998. Sampai sekarang aktivis
dianggap bak seorang pahlawan yang telah mengusir
penjajah di Negeri ini. Mereka selau dikenal dan disambut
dengan hormat jika berjalan disepanjang jalan.

Diawali dengan sejarah itu, sekarang banyak orang
yang ingin menjadi aktivis, terlepas dengan perasaan
ketulusan hati mereka untuk memperjuangkan hak-hak
kaum tertindas. Melaikan dengan dasar agar
mempermudahkan mereka untuk mendapatkan jaringan
demi kepentingan dirinya sendiri, atau yang lebih parahnya
mereka yang ingin jadi aktivis agar mereka terkenal
dimana-mana. Ini tidak ubahnya seperti artis.

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) merupakan
lembaga yang dikenal sebagai lembaga yang didalamnya
bercokol sekumpulan aktivis. Dan banyak mahasiswa yang
ingin masuk ke organisasi tersebut. Penulis tidak tahu
alasan mengapa mereka ingin masuk BEM. Apakah mereka
ingin mendapatkan beasiswa, ataukah mereka ingin
namanya dikenal dimana-mana. Penulis tidak tahu alasan
mereka sebenarnya. Di sini, penulis hanya mencoba
meraba-raba, dan sedikit melihat ”sejarah”, sejauh yang
penulis ketahui.

Kebanyakan mahasiswa yang duduk di jabatan BEM
mempunyai wibawa yang dahsyat untuk mempengaruhi
teman-temannya untuk ikut bergerak dalam
perjuangannya, karena BEM identik dengan organisasi
Intelektual-, setidaknya,itu dulu-. Sekarang BEM hanyalah
sekumpulan orang-orang yang oportunis, kebanyakan
mahasiswa yang menduduki jabatan BEM hanya untuk
mendapatkan sebuah biasiswa, ingin dirinya dianggap jago
berpolitik atau bahkan ingin dirinya dikenal bagai artis, jika
dia sedang berjalan orang akan menyapanya dengan rasa
hormat, bagai Pejabat pemerintahan yang mengobral
senyum dengan dihiasi wibawa palsu. 

Parahnya lagi, aktivis mahasiswa yang ingin masuk
BEM dengan niatan untuk memburu posisi struktural,
misalnya hanya memburu jabatan ketua BEM, ini hanya
akan menjadi sia-sia belaka. Mereka sudah mengorbankan
waktu, harta, dan pikiranya hanya untuk sebuah jabatan.
Jika seandainya kalah maka akan tercipta ilklim kebencian
pada salah satu lawannya, dan akhirnya akan tercipta
permusuhan, bisa jadi mereka akan selalu mempunyai
perasaan saling curiga. Hal ini akan menimbulkan perasaan
tidak tenang dalam kehidupan mereka.

Penulis selalu berharap semoga BEM selalu di
duduki kaum intelektual yang disana selau terjadi iklim
diskusi yang bisa mengasah intlektual mereka, bukan
sekedar sekumpulan mahasiswa yang hanya rapat dan
menggosip untuk membuat setrategi-setrategi agar bisa
mengalahkan musuh dan akhirnya muncullah black
campaigne ( Kampanye hitam). Tapi penulis
mengharapkan yang duduk di posisi BEM adalah orang
yang selau berdialektika, membaca, diskusi dan kemudian
menulis, tentunya dengan ketulusan hati yang paling dalam
tanpa ada unsur kepentingan untuk menjatuhkan.
Setidaknya, dalam bayangan penulis, adalah seperti yang

diungkapkan oleh Richardo Mathopat“ aktivis adalah
orang yang bisa mengukur kekuatannya dan saling
percaya terhadap sesama”. 


Oleh : Muhtar Said


Dikutip Dari Buku “Melintas yang Sepintas, Meski Bias”
Komunitas Embun Pagi :
Abdul Haris Fitrianto, Ahmad Fahmi Mubarok, Awaludin
Marwan, Edi Subkhan, Giyanto, Muhammad
Taufiqurrohman, Muhtar Said, Yogas Ardiansyah

Comments

Popular Posts